...
Gue tersenyum kecil sambil memandangi foto demi foto yang diambil dari blackberry gue tadi sore menjelang malem.
Jelas terlihat senyum imut dan polos para anak-anak rel sambil menirukan gaya khas sebuah girlband populer Indonesia, mereka membuka kedua telapak tangan, menyatukan kedua pangkalnya, dan menaruhnya dibawah dagu, membentuk huruf V.

Akhir-akhir ini gue lagi aktif di sebuah LSM, bernama ADRF (Asia-Afrika Destitute Relief Foundation) yang berpusat di Korea Selatan. Sebuah LSM pendidikan bagi anak-anak yang kurang mampu akan diberikan Class After School atau sebuah les semua mata pelajaran, termasuk kesenian dan budaya. Tim pengajar adalah mahasiswa-mahasiswa sebagai volunteer (sukarelawan) dari berbagai Universitas di Medan. Ya, ADRF ini masih baru dimulai hampir setengah tahun di Indonesia dan satu-satunya berada di Medan yakni di Jln. Ampera, perumahan Rafles (dekat Umsu glugur). Sengaja mengambil lokasi disini karena jarak Center (kami nyebut LSM tersebut) dengan rel KA agak dekat. Dengan itu, kami membimbing kira-kira 150 anak yang diberikan les sore mulai dari kelas 1 SD s/d 2 SMP.

Kebetulan tadi kami ingin mendata beberapa murid yang dianggap bukan 'kurang mampu', tetapi memang 'tidak mampu' terutama dalam biaya pendidikan.
Kami mendatangi satu per satu rumah murid yang kami maksud.

*nama anaknya gue samarin

Sella, seorang anak kira-kira berumur 10 tahun, anak ke 6 dari 6 bersaudara. Gue memandang rumah yang terbuat dari papan-papan kecil yang ukuran papan satu lain dengan yang lainnya. Seperti sisa-sisa potongan-potongan kayu yang tidak dipakai lagi. Rumah tidak ada cat, dan lusuh. Sepertinya sudah berdiri belasan tahun yang lalu, gue dan volunteer lainnya permisi dan masuk kerumah tersebut, Ibu Sella menyambut dengan baik. Lalu kami mulai berbincang-bincang masalah pengeluaran anak tersebut. Beliau seorang pembantu rumah tangga dan kadang memasak dari rumah yang satu ke rumah yang lainnya. Ayah Sella sudah tidak ada, maka beliau menafkahi anaknya harus membanting tulang. Beberapa anak beliau ada yang sekolah, dan ada yang tidak, kembali lagi dengan alasan biaya pendidikan yang tidak ada. Gue diem, sambil memandangi setiap sudut rumah kecil itu yang menurut gue sudah sangat perlu di renovasi. Mungkin, sedikitpun tidak ada niat beliau untuk renovasi rumah, makan saja bagi mereka sudah cukup bahagia walau ketika hujan mereka harus menyiapkan banyak ember untuk menampung air bocor.


Rian, anak cowok yang berbadan kecil ini nonton sambil tiduran di depan TV memakai sarung lusuh. Kami mengetok pintu, Rian menoleh dan menyapa, ketika kami bertanya dimana orang tuanya, dia mengatakan kalau Ibu dan Ayahnya sedang di pasar berjualan. Gue dan yang lain bingung, semalam ini dipasar? Padahal itu sudah pukul sembilan malam. Setelah nanya-nanya ke Rian, ternyata orangtuanya berjualan dipasar dan biasanya pulang pukul 11 malam, jelas, ketika Rian sudah ketiduran dan masih di depan TV yang menyala.


Putri, seorang murid SMP dan memiliki adik kls 1 SD. Kali ini gue benar-benar shock, kedua orang tua mereka buta. Ya, buta keseluruhan, benar2 tidak bisa melihat apa-apa, hanya gelap. Disitu gue benar-benar kagum sama orangtua mereka, walaupun cacat, buta, tetapi mereka bukan buta hati dan pikiran. Sebagaimana pun caci-makian atau ejekan dari orang lain, mereka hanya diam dan mencari nafkah yang halal buat anak-anaknya. Ketika ditanya masalah pendidikan, mereka antusias dan kelihatan sangat mendukung perkembangan pendidikan anak-anaknya. Salut, gue sampai pengen nangis apalagi ketika melihat Ibunya hanya ingin duduk saja, harus meraba-raba letak kursi. Mencari kursi untuk duduk saja sangat sulit baginya, bagaimana dengan mencari nafkah yang bagi orang normal saja sangat sulit, bagaimana dengan dia?


Jovi, rumah terakhir yang kami datangi, seorang Ibu sedang makan sendirian diruangan sempit dan bau yang mereka sebut itu ruang depan atau ruang tamu. Makan malam Ibu itu terganggu karna kedatangan kami, tetapi dia tidak masalah dengan itu, malah bersenang hati menyambut kami. Kami menanya keberadaan Jovi, beliau berkata Jovi lagi main dibelakang dengan temannya.
Jovi adalah anak didik kami yang lain dari anak lainnya, taraf (tingkat) kecerdasan berpikir yg sangat rendah (IQ lebih kurang 25); daya pikir yg lemah sekali. Kata lainnya, Idiot. Dia sudah pernah mencoba untuk sekolah di sekolah biasa, maksud Ibu Jovi menyekolahkannya, agar Jovi bisa berinteraksi dengan teman-teman sebayanya tanpa rasa takut dan minder. Kalau masalah pandai belajar, Ibunya sudah tidak berharap lebih, tetapi hanya ingin meningkatkan sosialitas Jovi kepada yang lainnya. Empat tahun di SD, Jovi masih di kelas 2. Tetapi, menurut cerita Ibunya, Jovi tidak mau sekolah lagi karena Gurunya sering memberikan hukuman fisik kepada Jovi karena melanggar peraturan.
Ingin pindah sekolah, tidak ada yang menerima, ingin menyekolahkan ke SLB? Tidak mungkin, itu hanya mimpi saja, mahalnya biaya SLB menjadi alasan tepat untuk tidak melanjutkan pendidikan.

Kata beliau, Jovi suka bermain bola dan ingin gabung dengan tim bola di sekitar lingkungan rel tersebut, tetapi ditolak karena Jovi sulit untuk sportive dan tidak memahami betul peraturan dalam bermain bola. Ibunya ingin anaknya normal seperti anak yang lain, ingin melihat Jovi tumbuh menjadi anak laki-laki yang tangguh, dapat menemani dan melindungi Ibunya, tetapi beliau juga tetap bersyukur, walau diberi anak seperti Jovi, beliau akan merusaha merawat dan melindungi ciptaanNya.


...

Gue diam, terenyuh.
Sambil melihat mereka satu persatu yang berebut untuk foto dengan gue, gue ngerasa beruntung banget.
Belajar dari anak-anak yang selalu ceria dan merasa semua akan selalu baik-baik saja walau keadaan sebenarnya yang buat gue ga habis pikir, ada beratus-ratus manusia, ratusan keluarga, yang berada sangat dekat dengan rel kereta api, kira-kira jarak 2 meter dapat bertahan hidup dibawah kebisingan KA, rumah yang goyang ketika KA lewat, dan kerawanan korban yang dilindas KA ketika melintas. Gue yang sering marah-marah ke adik gue kalau dia muter musik kuat-kuat, bagaimana jika gue tinggal di rel? Apakah gue bisa marah kepada KA?

Orang tua putri yang buta, demi anak-anaknya, rela bersusah payah mencari uang untuk makan dan sekolah. Luar biasa.
Sama seperti orangtua gue, yang siang malam kerja tanpa henti, sampai lupa makan dan akhirnya kadang terkena maag. Lalu, gue disini hanya malas-malasan sesuka hati mau makan apa, makanan murah, dan sampai yang sangat mahalpun gue udah coba. Kalau uang habis, tinggal telpon dan merengek-rengek minta uang tambahan. Menghabiskan gampang, mencarinya? Apakah gue sanggup seperti usaha mereka nyari biaya untuk keborosan gue?

Melihat Rian yang ditinggal sibuk oleh orang tua nya bikin gue teringat sama orangtua gue di rumah, mereka super duper sibuk. Demi apa? Jelas, demi keempat anaknya, terlebih untuk ketiga anaknya di luar kota, gue, adek gue yg cewek, dan abang gue. Kadang, ketika memiliki waktu luang, nyokap atau bokap nyempatin buat nelpon-nelpon sekedar nanya lagi apa, udah makan, dan kadang pertanyaan yang gue rasa ga penting untuk dibahas. Kadang gue jawab singkat2 aja supaya cepat nelponnya.
Nyokap bokap sering nyuruh kami pulang ke rumah kalo weekend, tapi karna capek dan terlebih males berada di bus selama 2 jam, sering kami membuat alasan untuk ga pulang.
Sampai suatu ketika, bokap gue nelpon. Beliau seperti biasa nanya-nanya keseharian gue, gue jawabnya singkat-singkat aja. Tiba-tiba bokap bilang gini 'kakak udah hampir dua bulan ga pulang, pulanglah, bapak rindu liat boru bapak' (boru=panggilan sayang kepada anak perempuan) nyesss, kayanya jantung gue langsung sakit, kaya ditusuk gitu. Kata-kata bokap gue berhasil buat gue nangis. Jahat banget gue sama bokap, sampai-sampai gue anaknya, tega ga pulang ke rumah karna alasan males dijalan. Bokap yang selalu nelpon di waktu luang dia yang ga banyak, bokap yang langsung cair denger rengekan boru nya minta uang tambahan, bokap yang ternyata merindukan borunya berada dirumah, bercerita dengannya atau bahkan kadang hanya melihat gue aja bokap kadang diam-diam tersenyum senang. Gue jahat, bokap nyokap yang begitu peduli dengan kami anaknya, tetapi direspon cuek seperti tidak ingin membuka diri.

Dari pengalaman gue hari ini, gue semakin mengerti kehidupan. Ketika kita kecewa dan merasa tidak bahagia dengan apa yang Dia beri, lihatlah kebawah, mereka yang berbahagia walau hanya diberi sedikit, bahkan sangat sedikit terhadap sesuatu yang kita miliki lebih dari cukup.

Thanks Jesus Christ
U give me my super Father & Mother
U gives happiness and fortune that was enough.
Families who care, good education, and everything that makes me thankful for Your blessings, God..